- Back to Home »
- culture , Our Documentation »
- Kampung Adat yang Masih Bartahan di Kabupaten Ciamis
Kamis, 03 April 2014
Kampung Kuta adalah dusun adat yang masih bertahan di Desa
Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis. Kampung adat ini
dihuni oleh masyarakat yang dilandasi kearifan lokal, dengan memegang
teguh budaya pamali (tabu), untuk menjaga keseimbangan alam dan
terpeliharanya tatanan hidup dalam bermasyarakat. Salah satu yang
menonjol adalah dalam hal pelestarian hutan, sekaligus mempertahankan
kelestarian mata air dan pohon aren untuk memenuhi sumber kehidupan
mereka.
Karena penghormatan yang tinggi terhadap hutan, warga Kampung Kuta
yang hendak masuk ke kawasan hutan tidak pernah menggunakan alas kaki.
Tujuannya agar hutan tersebut tidak tercemar dan tetap lestari. Oleh
karena itu, kayu-kayu besar masih terlihat kokoh di Leuweung Gede.
Selain itu, sumber air masih terjaga kelestariannya dengan baik.
Secara letak administratif, Kampung Kuta berada di wilayah Kabupaten
Ciamis, Kecamatan Tambaksari, tepatnya di dalam Desa Karangpaningal.
Kampung Kuta terdiri atas 2 RW dan 4 RT. Kampung ini berbatasan dengan
Dusun Cibodas di sebelah utara, Dusun Margamulya di sebelah barat, dan
di sebelah selatan dan timur dengan Sungai Cijulang, yang sekaligus
merupakan daerah perbatasan wilayah Jawa Barat dengan Jawa Tengah.
Untuk menuju ke kampung tersebut jarak yang harus ditempuh dari kota
Kabupaten Ciamis sekitar 34 km menuju ke arah utara. Dapat ditempuh
dengan menggunakan mobil angkutan umum ke Kecamatan Rancah. Sedang dari
Kecamatan Rancah menggunakan motor sewaan atau ojeg, dengan kondisi
jalan aspal yang berkelok, dan tanjakan yang cukup curam. Jika melalui
Kecamatan Tambaksari dapat menggunakan kendaraan umum atau ojeg, dengan
kondisi jalan yang serupa.
Salah satu upacara adat Kampung Kuta yang rutin dilaksanakan hingga
kini adalah Upacara Adat Nyuguh. Sesuai warisan leluhur, acara nyuguh
itu harus dilakukan di pinggir Sungai Cijolang yang berbatasan langsung
dengan Kabupaten Cilacap, Jawa tengah. Pernah satu kali acara nyuguh
tidak dilaksanakan, tiba-tiba seluruh kampung mendapat musibah. Padi
yang siap dipanen rusak parah, sedangkan sejumlah hewan ternak ditemui
mati menggelepar. Warga menyakini kerusakan itu terjadi karena “utusan”
Padjadjaran itu tidak disuguhi makanan. Alhasil mereka pun mencari
makanan sendiri dengan cara merusak kampung.
Pelapisan sosial yang didasarkan atas status dan peranan, telah
menyebabkan dalam masyarakat terdapat golongan yang memimpin dan
golongan yang dipimpin. Golongan yang memimpin secara formal menduduki
jabatan tertentu dalam lembaga pemerintahan desa seperti kepala desa.
Sedangkan pimpinan non-formal adalah pimpinan berdasarkan penghormatan
dan penghargaan masyarakat terhadap seseorang karena alasan usia,
pengalaman, pengetahuan, dan peran di lingkungannya. Pimpinan non-formal
biasa dikenal dengan sebutan sesepuh dan kuncen.
Walaupun masyarakat Kampung Kuta terkenal sebagai sebuah komunitas
yang sangat terikat dengan aturan-aturan adat, akan tetapi mereka
mengenal dan menyukai berbagai kesenian yang digunakan sebagai sarana
hiburan, baik kesenian tradisional maupun kesenian modern seperti
calung, reog, drama Sunda, tagoni (terbang), kliningan, jaipongan,
kasidah, ronggeng, sampai kesenian dangdut.
Adapun perjalanan ke Sungai Cijolang sekitar lima kilometer. Kini, Pak Kuncen pun kembali memulai ritual.
Doa kembali dipanjatkan sebelum warga menyantap makanan yang
tersedia. Setelah berdoa, seluruh warga kemudian menyantap makanan yang
dibawa dari kampung. Makanan khas yang harus ada setiap upacara.
Upacara Adat Nyuguh ini merupakan suatu upacara ritual tradisional
Adat Kampung Kuta Kec. Tambaksari Kabupaten Ciamis yang selalu
dilaksanakan pada tanggal 25 safar pada setiap tahunnya.
Kampung yang terletak di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari,
berbatasan dengan Jawa Tengah itu dikenal sebagai Kampung adat. Ada
beberapa versi mengenai sejarah Kampung Kuta ini. Menurut cerita rakyat
setempat, asal-usul Kampung Kuta berkaitan dengan berdirinya Kerajaan
Galuh. Konon, pada zaman dahulu ketika Prabu Galuh yang bernama Ajar
Sukaresi (dalam sumber lain, tokoh ini adalah seorang pandita sakti)
hendak mendirikan Kerajaan Galuh, Kampung Kuta dipilih untuk pusat
kerajaan karena letaknya strategis.
Prabu Galuh memerintahkan kepada semua rakyatnya untuk mengumpulkan
semua keperluan pembangunan keraton seperti kapur bahan bangunan, semen
merah dari tanah yang dibakar, pandai besi, dan tukang penyepuh perabot
atau benda pusaka. Keraton pun akhirnya selesai dibuat. Namun, pada
suatu ketika, Prabu Galuh menemukan lembah yang (Kuta) oleh tebing yang
dalamnya sekitar 75 m di lokasi pembangunan pusat kerajaan itu. Atas
musyawarah dengan para punggawa kerajaan lainnya, diputuskanlah bahwa
daerah tersebut tidak cocok untuk dijadikan pusat kerajaan (menurut
orang tua, “tidak memenuhi Patang Ewu Domas”).
Selanjutnya, mereka berkelana mencari tempat lain yang memenuhi
syarat. Prabu Galuh membawa sekepal tanah dari bekas keratonnya diKuta
sebagai kenang-kenangan. Setelah melakukan perjalanan beberapa hari,
Prabu Galuh dan rombongannya sampai di suatu tempat yang tinggi, lalu
melihat-lihat ke sekeliling tempat itu untuk meneliti apakah ada tempat
yang cocok untuk membangun kerajaannya. Tempat ia melihat-lihat itu
sekarang bernama “Tenjolaya”. Prabu Galuh melihat ke arah barat, lalu
terlihatlah ada daerah luas terhampar berupa hutan rimba yang menghijau.
Ia kemudian melemparkan sekepal tanah yang dibawanya dariKuta ke arah
barat dan jatuh di suatu tempat yang sekarang bernama “Kepel”. Tanah
yang dilemparkan tadi sekarang menjadi sebidang sawah yang datar dan
tanahnya berwarna hitam seperti dengan tanah diKuta , sedangkan tanah di
sekitarnya berwarna merah. Prabu Galuh melanjutkan perjalanannya sampai
di suatu pedataran yang subur di tepi Sungai Cimuntur dan Sungai
Citanduy, lalu mendirikan kerajaan di sana.
Cerita selanjutnya tentang Prabu Galuh tersebut hampir mirip dengan
cerita Ciung Wanara dalam naskah Wawacan Sajarah Galuh, bahwa Prabu
Galuh kemudian digantikan oleh patihnya, Aria Kebondan (dalam naskah
disebut Ki Bondan). Prabu Galuh menjadi pertapa di Gunung Padang.
Menurut versi tradisi lisan, Prabu Galuh meninggalkan duaorang istri,
yaitu Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Saat itu, Dewi Naganingrum
sedang mengandung. Ketika Dewi Naganingrum melahirkan, Dewi Pangrenyep
menukar bayinya dengan seekor anak anjing. Bayi itu kemudian dihanyutkan
ke Sungai Citanduy. Melihat Dewi Naganingrum beranak seekor anjing,
Aria Kebondan yang menjadi raja di Galuh menjadi marah, lalu menyuruh
Lengser membunuhnya. Namun, Lengser itu tidak membunuh Dewi Naganingrum,
tetapi menyembunyikannya diKuta. Adapun bayi yang dibuang ke Sungai
Citanduy itu kemudian ditemukan oleh Aki Bagalantrang di depan badodon
(tempat menangkap ikan)-nya. Bayi itu dipungut dan diasuh oleh Aki
Bagalantrang hingga remaja, lalu diberi nama Ciung Wanara. Tempat Aki
Bagalantrang mengasuh bayi itu sekarang disebut daerah “Geger Sunten”,
sekitar 6 km dariKuta . Ciung Wanara kemudian merebut kembali Kerajaan
Galuh dari Aria Kebondan melalui sabung ayam, sebagaimana yang
diceritakan dalam naskah. Setelah Ciung Wanara menjadi raja, Lengser pun
menjemput Dewi Naganingrum sehingga bisa berkumpul kembali dengan
anaknya.
Di Kampung Kuta terdapat mitos tentang Tuan Batasela dan Aki Bumi.
Diceritakan bahwa bekas kampung Galuh yang telah diterlantarkan selama
beberapa lama ternyata menarik perhatian Raja Cirebon dan Raja Solo.
Selanjutnya, masing-masing raja tersebut mengirimkan utusannya untuk
menyelidiki keadaan di Kampung Kuta. Raja Cirebon mengutus Aki Bumi,
adapun Raja Solo mengutus Tuan Batasela. Raja Cirebon berpesan kepada
utusannya bahwa ia harus pergi ke Kuta, tetapi jika didahului oleh
utusan dari Solo, ia tidak boleh memaksa jadi penjaga Kuta. Ia harus
mengundurkan diri, tetapi tidak boleh pulang ke Cirebon dan harus terus
berdiam di sekitar daerah itu sampai mati. Pesan yang sama juga didapat
oleh utusan dari Solo. Pergilah kedua utusan tersebut dari kerajaannya
masing-masing. Utusan dari Solo, Tuan Batasela, berjalan melalui Sungai
Cijolang sampai di suatu kampung, lalu beristirahat di sana selama satu
malam. Jalan yang dilaluinya itu hingga saat ini masih sering
dilaluiorang untuk menyeberang dari Jawa Tengah ke Jawa Barat.
Penyeberangan itu diberi nama “Pongpet”. Adapun Aki Bumi dari Cirebon
langsung menuju ke Kampung Kuta dengan melalui jalan curam, yang sampai
saat ini masih ada dan diberi nama “Regol”, sehingga tiba lebih dulu di
Kampung Kuta. Sesampainya di sana, Aki Bumi menemui para tetua kampung
dan melakukan penertiban- penertiban, seperti membuat jalan ke hutan dan
membuat tempat peristirahatan di pinggir situ yang disebut “Pamarakan”.
Karena telah didahului oleh utusan dari Cirebon, Tuan Batasela kemudian
terus bermukim di kampung tempat ia bermalam, yang terletak di utara
Kampung Kuta. Konon, utusan dari Solo itu kekurangan makanan, lalu
meminta-minta kepada masyarakat di Kampung itu, tetapi tidak ada yang
mau memberi. Keluarlah umpatan dan sumpah dari Tuan Batasela yang
mengatakan bahwa “Di kemudian hari, tidak akan adaorang yang kaya di
Kampung itu.” Ternyata, hingga saat ini rakyat di Kampung itu memang
tidak ada yang kaya. Karena menderita terus, Tuan Batasela kemudian
bunuh diri dengan keris. Darah yang keluar dari luka Tuan Batasela
berwarna putih, lalu mengalir membentuk parit yang kemudian disebut
“Cibodas”. Kampung itu pun diberi nama Kampung Cibodas. Tuan Batasela
dimakamkan di tengah- tengah persawahan di sebelah utara Kampung
Cibodas. Makamnya masih ada hingga saat ini. Aki Bumi terus menjadi
penjaga (kuncen) Kampung Kuta sampai meninggal, lalu dimakamkan bersama
keluarganya di tengah-tengah Kampung, yang sekarang termasuk Kampung
Margamulya. Tempat makam itu disebut “Pemakaman Aki Bumi”. Setelah
keturunan Aki Bumi tidak ada lagi, Raja Cirebon memerintahkan bahwa yang
menjadi kuncen di Kampung Kuta berikutnya adalah orang-orang yang
dipercayai oleh Aki Bumi, yaitu para leluhur kuncen Kampung Kuta saat
ini.
Mitos-mitos yang dituturkan oleh tradisi lisan terkadang mempunyai
keterkaitan dengan mitos yang diceritakan dalam sumber naskah sejarah.
Keterkaitan itu kemudian menimbulkan pertanyaan bagi kita, apakah si
penutur mitos yang bersumber pada naskah atau naskah yang ditulis
berdasarkan penuturan. Jika dirujuk pada usianya, maka tradisi lisan
telah ada sebelum tulisan muncul sehingga dapat diasumsikan bahwa naskah
ditulis berdasarkan cerita yang dituturkan. Tradisi lisan yang terus
ada hingga saat ini, seperti yang dituturkan oleh para kuncen atau
tukang cerita, terdapat dua kemungkinan mengenai asal-usulnya. Pertama,
tradisi lisan itu berdasarkan cerita naskah yang dibaca kemudian
dituturkan kembali. Kedua, tradisi lisan itu memang belum pernah
dituliskan dalam bentuk naskah, lalu dituturkan secara turun-temurun.
Adanya perbedaan versi suatu cerita yang dituturkan dalam naskah dan
tradisi lisan disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu perbedaan
sumber cerita, distorsi cerita karena pewarisan cerita yang
turun-temurun memungkinkan terjadinya penambahan ataupun pengurangan isi
cerita, dan adanya keinginan dari penutur cerita untuk mengedepankan
peranan seorang tokoh ataupun berapologia atas kesalahan tokoh tersebut.
Demikian pula dengan cerita tentang Kampung Kuta di atas. Ada beberapa
bagian yang hampir mirip dengan cerita yang dikemukakan dalam naskah dan
ada pula yang berbeda jalan ceritanya. Adapun mengenai kebenaran isi
cerita atau mitos tersebut bukanlah suatu permasalahan. Setidaknya,
mitos-mitos tersebut dihormati dan dipelihara oleh masyarakatnya. Lebih
jauh, bukankah ilmu pengetahuan juga pada awalnya berkembang dari bentuk
pemikiran mitis. Hingga saat ini, Kampung Kuta tetap dilestarikan
sebagai kampung adat atau petilasan. Masyarakatnya masih memelihara dan
melestarikan tradisi-tradisi leluhur mereka. Pantangan-pantangan pun
dibuat untuk menjaga kelestarian tradisi itu, seperti larangan membuat
rumah dari tembok dan memakai atap genteng, larangan mengubur mayat
orang dewasa kecuali bayi kecil dan dalamnya pun tidak melebihi pangkal
paha, larangan menggali sumur terlalu dalam, larangan mementaskan
wayang, larangan meminum minuman keras, tidak boleh sombong atau
menentang adat kuta, dan sebagainya.
Dengan masih bertahannya Kampung Kuta sebagai Kampung Adat yang
berada di Ciamis ini, sepatutnya harus kita banggakan, karena dengan
adanya Kampung Kuta sebagai Kampung Adat yang masih bertahan menunjukkan
bahwa masih ada pelestari kebudayaan yang masih menjaga kelestarian
budayanya hingga saat ini. Mari kita lestarikan warisan kebudayaan
leluhur.